Kontra Peringatan Hari Santri
Selain yang mendukung atau memandang perlu adanya peringatan hari santri, sebenarnya ada juga yang berpendapat bahwa hari santri tidak perlu di peringati.
Pandangan yang kontra atau memandang tidak perlu adanya peringatan Hari Santri Nasional umumnya berargumen bahwa penetapan hari tersebut berpotensi menimbulkan perpecahan, mengabaikan kelompok lain, dan maknanya sudah terwakili dalam peringatan nasional lainnya.
Berikut adalah uraian atau pandangan yang kontra terhadap Hari Santri Nasional:
1. Berpotensi Menimbulkan Polarisasi dan Disharmoni Umat
Kritik utama dari beberapa organisasi dan tokoh, terutama dari Muhammadiyah, adalah bahwa penetapan Hari Santri berpotensi mengukuhkan dikotomi "santri" dan "non-santri" atau "abangan" di kalangan umat Islam dan masyarakat Indonesia.
Mengganggu Integrasi: Konsep "santri" sering kali dikaitkan secara kultural dan historis dengan kelompok Islam tertentu (terutama Nahdlatul Ulama/NU) dan pesantren tradisional. Mengukuhkan kategorisasi ini dikhawatirkan dapat membuka kembali sekat-sekat sosial dan melemahkan integrasi nasional yang selama ini sudah mulai mencair.
Kesan Eksklusif: Penetapan hari peringatan ini dinilai terlalu eksklusif dan seolah-olah hanya menunjuk pada satu golongan Islam saja, mengabaikan kontribusi besar ormas Islam lainnya dan lembaga pendidikan non-pesantren dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
2. Reduksi Makna Perjuangan dan Tumpang Tindih dengan Hari Pahlawan
Penetapan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober didasarkan pada peristiwa Resolusi Jihad yang dikobarkan oleh KH Hasyim Asy'ari. Para pihak yang kontra melihat hal ini sebagai:
Penyempitan Sejarah: Menekankan pada Resolusi Jihad (peristiwa fisik/militer) dinilai mereduksi makna jihad yang seharusnya bersifat lebih luas (jihad iqtishadi/ekonomi, jihad 'ilmi/ilmu pengetahuan, jihad i'lami/informasi, dll.) yang telah dilakukan oleh para pahlawan Muslim selama berabad-abad, jauh sebelum 1945.
Tumpang Tindih: Jasa-jasa santri dan ulama dalam mempertahankan kemerdekaan sudah terwakili dan tercakup dalam peringatan Hari Pahlawan Nasional setiap 10 November. Daripada menciptakan hari baru, akan lebih efektif jika makna Hari Pahlawan diperkaya dengan narasi Resolusi Jihad dan peran santri di dalamnya.
3. Kekurangan Visi ke Depan dan Hanya Bersifat Seremonial
Beberapa kritik juga menyoroti aspek implementasi dan substansi dari peringatan tersebut:
Kontraproduktif: Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, pernah menilai bahwa penetapan Hari Santri kontraproduktif karena tidak dijadikan hari libur nasional. Jika hanya diperingati melalui kegiatan kumpul-kumpul atau istigasah, dampaknya tidak akan sebesar yang diharapkan dan hanya menjadi seremonial belaka.
Kurang Relevan dengan Masa Depan: Peringatan Hari Santri dianggap "romantis ke belakang" karena hanya mengenang peristiwa masa lalu, namun kurang memiliki visi yang jelas terkait langkah strategis untuk lompatan kemajuan bangsa di masa depan. Beberapa pihak menyarankan, jika memang harus ada hari peringatan yang terkait dengan pendidikan Islam, lebih tepat jika disebut Hari Pendidikan Islam Nasional atau Hari Resolusi Jihad yang maknanya lebih universal.
4. Dimensi Politis Penetapan
Terdapat pandangan yang menilai penetapan Hari Santri sebagai langkah politis yang berakar dari janji kampanye Presiden pada Pilpres 2014, yang bertujuan untuk mengakomodasi kepentingan politik kelompok atau organisasi Islam tertentu. Hal ini dikhawatirkan dapat mencederai semangat persatuan dan keberagaman bangsa yang harus dijunjung tinggi dalam setiap kebijakan nasional.





